Rabu, 02 September 2009

“Nasi Pecel Emak”

Angin mencoba menerobos masuk lewat celah bambu kamar Siti. Siti merasa dingin, mencoba membenarkan letak yang katanya selimut padahal hanya berupa selembar kain kumal itu untuk menutupi kakinya. Setiap Siti bergerak, bunyi derit ambennya semakin keras. Maklum, amben bodhol. Emaknya memanggil-manggil nama Siti bersamaan dengan bunyi adzan di mushola sebelah rumah.

Masih dengan mata agak terpejam, Siti bangun. Berjalan menuju kakus. Air di ember bocor itu kosong. Siti menimba di sumur, masih thekluk-thekluk. Dua ember dia isi, dia bawa kembali menuju sumur. Cuma wudhu. Siti berjalan lagi menuju kamarnya, lewat pawon tentunya. Dilihatnya emak sedang mencuci bayam,kangkung,kubis,kacang panjang. Siti pura-pura tak peduli. Berjalan lagi dia, tiga langkah, emaknya memanggil, “ Sembahyang nanti saja! Bantu emak dulu!”. Siti tak bisa menolak. Dia berbalik, lima langkah. Mengambil ulekan, ditaruhnya di meja kayu lapuk. Berjalan lagi, mengambil kacang goreng, gula merah,garam,cabe merah di meja di sebelah emaknya. Berjalan lagi dia kembali ke meja kayu lapuk itu. Agak dongkol. Sembahyang disuruh ditunda. Tapi Siti tidak pernah bisa menolak. Diuleknya campuran bahan-bahan itu. Tak sampai sepuluh menit, jadilah sambal pecel. Siti ingin berdiri, ingin sembahyang. Baru setengah berdiri, “Nanti saja sembahyangnya,Bantu emak dulu” kali ini permintaan emaknya sama namun lebih halus daripada yang tadi. “Tapi mak,,” Siti mencoba menolak, tapi emaknya mengisyaratkan Siti untuk duduk lagi. Masih dongkol, Siti tetap berdiri namun bukan untuk sembahyang, tapi mengambil tumpukan daun pisang yang masih segar di sebelahnya. Satu daun pisang dibagi kira-kira jadi 7 bagian. Agak cepat Siti melakukannya. Tangannya jadi hitam, terkena getah. Siti harus wudhu lagi. Kali ini, sembahyangnya tak boleh ditunda emaknya lagi. Dia lari ke sumur lagi. Airnya masih ada. Sedikit. Siti tetap wudhu.

Kali ini dia berjalan memutar, bukan lewat pawon. Memutar lewat rumah Pak Tarman, nanti ujungnya lewat pintu depan rumah Siti. Itupun kalau pintu rumahnya sudah dibuka. Kalau belum, dia juga biasa lompat lewat jendela kamar. Ternyata pintu depan terkunci, Siti berbalik lagi menuju jendela kamarnya. Siti kaget, jendela belum dibuka tadi. Siti pasrah, berjalan lagi lewat pawon. Emaknya tak ada. Lega. Siti harus cepat-cepat sembahyang. Takut keburu terang, nanti sholat dia percuma. Dia mengambil kain panjang semacam handuk yang dipakainya untuk pengganti sajadah di kursi kamarnya. Mukena hanya dua. Milik Siti sedang dicuci. Yang satu di kamar emaknya. Siti berjalan lagi, emaknya tak ada di kamar. Diambilnya mukena di kasur yang ambennya juga tak kalah berderit dari amben Siti. Mukena itu mungkin tak pernah dipakai oleh emaknya. Hanya ditaruh saja disitu. Kotor dan bau. Terlihat dari warnanya yang waktu itu, baru dibeli Siti untuk hadiah ulang tahun emaknya masih putih bersih seperti di iklan detergen pencuci pakaian. Sekarang sudah kuning kecoklatan.

Siti buru-buru memakainya, tinggal sarung untuk bawahannya. Baru setengah dia menaikkan sarungnya, emaknya memanggil lagi. Siti pura-pura tidak dengar.Dia melanjutkan sholatnya dengan tidak khusyuk karena emaknya masih berteriak memanggil namanya. Siti tidak sempat berdoa. Dia melipat alat sembahyang itu sekenanya. Siti lari menuju emaknya, tidak hati-hati, disandungnya kaki meja di kamar emaknya. Tak boleh peduli. Siti menemui emaknya. Banyak tugas sudah menunggu. Membungkus pecel-pecel yang sudah dia buat tadi.

Dilihatnya Imron, adik Siti sudah bangun. Imron melakukan aktifitas sama dengan Siti, menimba air untuk wudhu. Tetapi bedanya, tanpa gangguan emaknya. Siti masih sibuk meracik dan menata pecel-pecel itu dalam dua tas plastik hitam. Satu plastik 30 bungkus. Setelah siap semuanya, Siti mandi di sumur. Ditengoknya kanan-kiri, takut ada yang ngintip. Mandinya tidak ada lima menit. Imron sudah memaksa Siti untuk cepat selesai. Siti masuk kamar lagi, memakai seragam SMP-nya, kembali ke pawon lagi. Mengambil satu tas plastik yang berisi nasi pecel itu. Satu tas plastik disisakannya untuk Imron. Pamit sebentar, tanpa uang saku. Kembali ke depan rumah, membuka warung emaknya. Menata yang perlu ditata. Membuang yang perlu dibuang.

Siti berangkat lewat samping rumah, agar bisa melihat jam di rumah Pak Tarman. Maklum, rumahnya tanpa jam, artinya tanpa waktu. Jam dinding di rumah Pak Tarman terlihat dari jendela yang sudah dibuka. Masih pukul 05.27. Siti cepat-cepat berjalan. Berjalan menuju barat. Menuju satu persatu rumah-rumah di kampungnya. Siti sangat beruntung pagi ini tidak hujan. Langitnya indah. Tidak seperti pagi kemarin, mendung, hitam, berawan pekat, menakutkan.

Tiga rumah dari rumah Siti, Mbah Karto sedang menunggu matahari muncul untuk karing. Mbah Karto ditemani kucingnya. “Nasi pecel mbah?” tawar Siti ramah. Mbah Karto menggeleng. Maklum, (maaf) dia agak tuli. Siti terus berjalan. Ada rumah lagi disamping rumah Mbah Karto. Siti mencoba melewati pekarangan rumah itu. ‘Tidak ada orang’ pikir Siti. Tapi, pintu terbuka. Siti mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Siti mengetuk pintu dan mengucap salam lagi. Salam ke-3-nya disambut oleh seorang ibu muda yang cantik. Entah memang muda, atau terlihat muda, Siti tak tahu. “Nasi pecel bu?” tawarnya. “Satu saja, anak-anak sudah sarapan tadi.”. Siti tersenyum. Mengambil satu bungkus nasi pecel dari dalam tas plastik hitam yang dia bawa. ‘Ibu yang baik,’ pikir Siti. Sepagi ini, dia sudah menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Ibu yang terlihat muda itu memberikan uang seribu lima ratus kepada Siti. “Terima Kasih bu” ucap Siti.

Siti terus berjalan ke rumah-rumah berikutnya. Laku. Siti melirik nasi pecel di tas plastik hitam itu. Menghitungnya. Masih ada tujuh. Tapi, tadi dia melihat jam di rumah pelanggannya yang terakhir sudah menunjukkan jam enam lebih dua puluh lima. Siti harus pulang ke rumah lagi. Menyerahkan uang yang ia dapat, menyerahkan sisa nasi pecel kepada emaknya. Dia setengah berlari, sebenarnya agak cape’, tapi dia harus berlari. Dia tidak mau telat datang ke sekolah. Lima menit, dia sampai di rumah.

Siti melihat emaknya sedang berjualan di warung rumahnya. Lumayan banyak pembeli hari itu. Siti ikut senang. Siti menyerahkan uang kepada emaknya. Mengambil uang secukupnya untuk berangkat ke sekolah. Berjalan lagi ke kamar untuk mengambil tas cangklong bututnya. Siti kembali berjalan ke warung, mengambil satu nasi pecel untuk dibawa ke sekolah. Agar tidak jajan. Siti pamit untuk kedua kalinya. Lalu lari menuju jalan besar untuk mencari angkutan.

Di kampung Siti, hanya ada satu macam angkutan. Orang-orang menyebutnya kol pikep (pick up). Angkutan ini biasanya berwarna hitam. Pintunya berada di belakang. Penumpang yang menaikinya berhadap-hadapan. Kadang, si sopir menaruh dhingklik untuk tambahan penumpang. Siti masih dapat kol pikep. Walaupun dengan berlari-lari dan nafas ngos-ngosan. Siti masuk, duduk. Dilihat di sebelah kirinya, seorang ibu membawa bakul berisi sayuran untuk dibawa ke pasar. Anaknya yang masih balita dibiarkannya tertidur di atas bakul itu. Hangat. Di sebelah kanan Siti, mungkin seorang guru. Dia merokok tetapi juga thekluk-thekluk.Bau rokoknya menyebar di ruang angkutan yang sudah pengap itu. Siti tak peduli. Didepan Siti, anak sekolah juga. Tapi sudah SMA. Anak SMA itu tersenyum ketika Siti menatapnya. Kurang lebih seperempat jam, kol pikep itu berhenti. Sudah sampai terminal. Siti masih harus naik angkutan lagi. Kali ini lebih nyaman, kol endhog bebek. Berwarna biru telur bebek. Namun bersih. Siti naik, bertemu teman-teman satu sekolahnya.

Pukul dua siang, Siti sampai rumah. Rumah kosong tak dikunci, Siti masuk. Emak ke pasar. Imron main. Siti lapar, berjalan ke warungnya, masih ada nasi pecel sisa tadi. Sarapan nasi pecel, makan siang nasi pecel. Siti tak boleh peduli, yang penting dia merasa kenyang. Siti ke kamar, ganti baju. Dicantolkannya seragam yang hanya satu-satunya itu di gantungan belakang pintu kamar. Berjalan ke kakus, belok ke sumur, menimba satu ember untuk wudhu. Sembahyang di kamar emak. Setelah melipat mukenanya, Siti tertidur. Siti bangun ketika sudah jam lima. Siti heran emak tak membangunkannya. Siti keluar dari kamar emak. Emak di warung. Siti ke sumur lagi menimba untuk wudhu ashar. Setelah sembahyang, Siti ke warung, bergantian dengan emak. Emak ke pawon. Memasak. Siti di warung sampai jam delapan. Disambi belajar matematika.

Siti mulai thekluk-thekluk lagi. Berjalan ke kamar. Tidur. Lupa sembahyang Isya’. Imron masuk kamar Siti. Ikut tidur.Siti tidur tanpa beban.Seakan-akan tidak akan berjualan nasi pecel lagi bersama adiknya.

Malam cepat berjalan. Adzan Shubuh masih terdengar. Emak Siti sudah bangun. Kali ini dia tidak membangunkan Siti. Entah kenapa. Tapi tiba-tiba suara kaset kajian dari mushola berhenti. Orang-orang berteriak. Emak Siti panik. Dia memanggil –manggil nama Siti. Tapi bukan panggilan untuk membantu emaknya. Siti masih tetap tidur. Masih tetap tidur. Sampai ketika longsoran tanah meruntuhkan rumah,warung, dan nasi pecel buatan emak Siti, Siti masih tidur. Siti tidak akan bangun dan tak akan pernah bangun lagi. Dalam mimpinya yang abadi dia mendengar emaknya melarangnya sembahyang, menyuruhnya mengulek bahan-bahan pecel,membungkusi nasi pecel, berkeliling kampung menjual pecelnya, berkejar-kejaran dengan kol pikep,bertemu teman-temannya di sekolah.

Pagi itu telepon di rumah saya berdering. Mengabarkan duka untuk Banjarnegara. Longsor besar terjadi di desa Sijeruk. Di desa Siti.


Keterangan :

1. bodhol = rusak

2. amben =dipan kasur dalam bahasa jawa

3. kakus = kamar mandi

4. thekluk-thekluk = keadaan setengah mengantuk

5. pawon =dapur

6. ulekan = ciri mutu

7. karing = menghangatkan badan dengan matahari

8. endhog = telur dalam bahasa jawa

9. bakul =sejenis wadah besar terbuat dari bambu

10. dhingklik = sejenis kursi kecil dari kayu


1 komentar:

  1. jadi kangen ma jawa deeech...opo neh nek nyang umah...uh maaaammaaaa i mis youuu...heheheh...nice blog...good luck..

    BalasHapus